Perang Salib Kedua | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang Salib | |||||||||
Peta tahun 1140 yang menunjukan jatuhnya Edessa di sebelah kanan peta, yang merupakan sebab terjadinya Perang Salib Kedua. | |||||||||
| |||||||||
Pihak yang terlibat | |||||||||
Tentara Salib | Muslim | ||||||||
Komandan | |||||||||
Melisende dari Yerusalem Baldwin III dari Yerusalem Raymond II Raymond dari Poitiers Manuel I Komnenos Thoros II Afonso I dari Portugal Alfonso VII dari León Conrad III dari Jerman Ottokar III dari Styria Louis VII dari Perancis Thierry dari Elsas Stephen dari Inggris Geoffrey V | Mesud I Tashfin bin Alibr Ibrahim bin Tashfin Ishaq bin Ali Abdul Mu'min Imad ad-Din Zengi Saif ad-Din Ghazi I Al-Muqtafi Al-Hafiz | ||||||||
Kekuatan | |||||||||
Jerman: 20.000 tentara[1] Perancis: 15.000 tentara[2] |
Perang Salib Kedua (1147–1149) adalah perang salib kedua yang dilancarkan dari Eropa. Perang ini meletus akibat jatuhnya County Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara tentara salib yang pertama kali didirikan selama Perang Salib Pertama (1095–1099), dan juga negara yang pertama kali jatuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, seperti Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyeberangi Eropa secara terpisah dan sedikit terhalang oleh kaisar Romawi Timur, Manuel I Comnenus. Setelah melewati Bizantium dan memasuki Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dikalahkan oleh tentara Seljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melancarkan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148. Perang Salib di Timur mencapai kemenangan. Kegagalan ini memicu jatuhnya kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12.
Tentara salib yang mampu menggapai kemenangan adalah gabungan tentara salib Flandria, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan Jerman. Mereka berlayar menuju Tanah Suci. Di tengah perjalanan, tentara tersebut berhenti dan membantu bangsa Portugis merebut Lisboa tahun 1147. Sementara itu, Perang Salib Utara dikobarkan sebagai upaya untuk mengubah orang-orang yang menganut paganisme menjadi beriman Kristen, dan mereka harus berjuang selama berabad-abad.
Perang Salib Kedua adalah peperangan yang melibatkan pasukan Salib pimpinan Raja Louis VII, Kaisar Conrad III, dan Raja Baldwin III, melawan gabungan pasukan muslim pimpinan Nuruddin dan Saifuddin di Damaskus. Perang tersebut sering dikatakan sebagai periode kebangkitan umat Islam pasca kekalahan telak dari kaum Frank di Perang Salib Pertama.
Pasca terebutnya banyak wilayah Islam di Perang Salib Pertama, tidak lantas membuat umat Islam melakukan perlawanan balik. Akan tetapi justru banyak pemimpin muslim Suriah yang licik dan terpecah malah melakukan genjatan senjata dan bekerjasama dengan kaum Frank.
Kaum Frank semakin mendominasi wilayah Timur Dekat, lantaran lawannya tengah mengalami perpecahan hebat. Semangat fanatisme agama masih menjadi motivasi tinggi mereka dalam memperluas wilayahnya. Dekade pertama abad ke-12 merupakan dekade penaklukan sebagian besar pelabuhan di kawasan Mediterania timur oleh kaum Frank. Penaklukan ini dapat menjamin pasokan bantuan lewat jalur laut.
Pihak muslim sendiri sesekali berusaha memerangi Tentara Salib di awal abad ke-12, namun tanpa koordinasi. Meskipun demikian tanda-tanda kebangkitan Islam telah terlihat, ketika Il-Ghazi dibantu oleh ulama Ibn al-Khasysyab yang mengobarkan semangat jihad, berhasil mengalahkan pasukan Salib di pertempuran Balath atau dikenal juga sebagai pertempuran Ladang Darah (1119M).
Walaupun demikian kemenangan Il-Ghazi hanya terjadi di satu pertempuran tersebut, ia tidak mampu melanjutkan kemenangan di Balath, karena ia merayakannya secara berkepanjangan sehingga memberikan waktu kepada Tentara Salib untuk berkonsolidasi. Kebangkitan yang sebenarnya baru benar-benar terlihat pada masa Imaddudin Zengi (1085-1146 M).
Latar belakang
Setelah meletusnya Perang Salib Pertama dan Perang Salib 1101, ada tiga negara tentara salib yang didirikan di timur, yaitu Kerajaan Yerusalem, Kepangeranan Antiokhia, dan County Edessa. County Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah serta hanya memiliki sedikit penduduk. Maka dari itu, daerah ini sering diserang oleh negara-negara Muslim seperti Ortoqid, Danishmend, dan Seljuk. Baldwin II dan Joscelin dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalam Pertempuran Harrantahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih setelah Pertempuran Azaz pada tahun 1125, Joscelin tewas dalam pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin II, terpaksa bersekutu dengan kekaisaran Romawi Timur, namun, pada tahun 1143, Kaisar Romawi Timur, John II Comnenus dan Raja Yerusalem Fulk dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar dengan Count Tripoli dan Pangeran Antiokhia, sehingga Edessa tidak memiliki sekutu yang kuat.
Sementara itu, Zengi, seorang Atabeg dari Mosul, merebut Aleppo pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah. Baik Zengi maupun raja Baldwin II mengalihkan perhatian mereka ke arah Damaskus. Sayangnya, Baldwin dapat ditaklukan di luar kota tersebut pada tahun 1129. Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti Burid, selanjutnya bersekutu dengan raja Fulk ketika Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140.[3]
Pada akhir tahun 1144, Joscelin II bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid melawan Aleppo. Zengi, yang hendak mengambil kesempatan atas kematian Fulk tahun 1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung Edessa, yang akhirnya jatuh ke tangannya setelah sebulan pada tanggal 24 Desember1144. Manasses dari Hierges, Philip dari Milly dan lainnya dikirim dari Yerusalem untuk membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai sisa wilayah Edessa dari Turbessel, tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual kepada Bizantium. Zengi sendiri dipuji sebagai "pelindung kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan Antiokhia. Peristiwa di Mosul memaksanya untuk pulang, dan ia sekali lagi mengalihkan perhatiannya pada Damaskus, namun ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan oleh anaknya, Nuruddin.[4] Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya Zengi, tetapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146.
Zengi dan Penaklukan Eddesa
Imaduddin Zengi ibn Aq-Sunqur ibn Abdullah Alu Targhan adalah gubernur Mosul yang mempelopori kebangkitan Islam sebelum meletusnya Perang Salib Kedua. Zengi masih termasuk ke dalam kabilah as-Sabayu at-Turkmani. Aq-Sunqur, ayah dari Zengi, merupakan salah satu panglima Seljuk yang menjadi sahabat dan orang kepercayaan Sultan Seljuk, Malik Shah. Salah satu bukti terpenting tentang kedudukan Aq-Sunqur di hadapan Sultan Malik Shah, adalah gelar Qasimuddaulah (sekutu) yang diberikan Sultan kepadanya.
Zengi berbeda dengan pemimpin militer muslim di awal abad ke-12, seperti Il-Ghazi atau Tughtegin, yang hadir terlebih dahulu dan memerangi kaum Frank secara tidak terorganisir. Ia dikenal memiliki kualitas kepemimpinan yang brilian. Ia berasal dari keluarga yang terbiasa dengan tugas militer dan pemerintahan. Oleh sumber-sumber masa lalu Zengi dipuji karena kecakapannya dalam militer dan pemerintahan.
Namun, di berbagai sumber ia juga digambarkan sebagai pemimpin bertangan besi yang disiplin dan tidak pandang bulu. Zengi menerapkan disiplin yang ketat terhadap pasukannya, layaknya disiplin para panglima Mongol. Apapun itu, Zengi tetap lah salah satu tokoh penting dalam masa transisi Perang Salib Pertama menuju Perang Salib Kedua.
Pada tahun 1127 M, Sultan Mahmud mengangkat Zengi sebagai gubernur Mosul, dan atabeg atau wali bagi kedua putra sultan. Dari kedudukannya di Mosul, Zengi melakukan ekspansi ke beberapa wilayah kekuasaan Tentara Salib, di antaranya: Aleppo, Sarja, Dara, dan Benteng al-Atsarib. Zengi bahkan sempat ingin menaklukkan Damaskus pada tahun 1137, namun aliansi yang dibentuk Gubernur Damaskus Mu’inuddin Unur menggagalkan usaha tersebut. Setelah upayanya gagal, Zengi memutuskan untuk mengalihkan fokus penaklukannya ke wilayah kaum Frank lainnya, yakni Eddesa.
Edessa atau Ar-Ruha adalah negara Salib pertama yang berdiri, sekaligus negara Salib pertama yang direbut oleh umat Islam. Edessa menjadi negara yang paling mungkin direbut kembali saat itu, setelah selama empat dekade, wilayah tersebut digempur oleh para penguasa Mosul. Gempuran tersebut perlahan-lahan melemahkan garis pertahanan Eddesa.
Pada waktu yang sama pasukan Salib sedang mengalami perpecahan, menyusul konflik antara penguasa Eddesa, Joscelin II, dengan penguasa Antiokhia, Raymond de Poitiers. Ketika pasukan yang dikomandai Zengi mulai mendekati kota Eddesa, pasukan Salib tidak mampu menyatukan kekuatan, dan mereka juga tidak mungkin meminta bantuan Byzantium, akibat perselisihan pembagian wilayah pasca Perang Salib Pertama.
Dalam upaya membebaskan Eddesa, Zengi melakukan berbagai usaha. Salah satu yang terpenting adalah menanamkan semangat jihad kepada pasukannya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Zengi adalah ahli strategi, ia berkali-kali melakukan serangan mendadak terhadap Eddesa. Setelah empat minggu mengepung Eddesa, Zengi melakukan serangan terakhir pada tanggal 28 November 1144 yang menjadikan kota tersebut masuk kembali ke dalam kekuasaan muslim.
Penaklukan Edessa di bawah komando Imaduddin Zengi pada 1144 M, menjadi titik balik yang menentukan bagi umat Islam. Penaklukan tersebut sekaligus menandai perubahan pola gerakan umat Islam yang di Perang Salib Pertama cenderung defensif berubah menjadi ofensif.
Pasca penaklukan Eddesa, Zengi yang sebelumnya telah melihat persekutuan tersembunyi antara Pasukan Salib di Suriah dan Bani Artaq di Damaskus, kembali merencanakan serangan ke Damaskus. Zengi kemudian menyiapkan penyerbuan ke Damaskus, ia sangat terusik atas tindakan yang dilakukan penguasa Damaskus saat itu. Akan tetapi misi tersebut tertunda karena pemberontakan yang terjadi di Eddesa.
Setelah pemberontakan di Eddesa diatasi, Zengi melanjutkan perjalan perjalanan menuju benteng Ja’bar, untuk menaklukan benteng Pasukan Salib yang terletak di Sungai Eufrat. Pada tanggal 14 September 1146 M, ketika Zengi sedang mengepung Benteng Ja’bar, pihak Frank melakukan kesepakatan dengan sekelompok anggota Assassin. Setelah kesepakatan mengenai imbalan tercapai, maka anggota Assassin mulai melaksanakan infiltrasi ke dalam perkemahan pasukan Imaduddin Zengi. Setelah berhasil masuk ke dalam tenda, mereka langsung membunuh Zengi yang saat itu sedang tertidur.
Dengan meninggalnya Zengi maka pihak muslim mengalami kehilangan besar, usaha penaklukan wilayah Salib kemudian dilanjutkan oleh putra dari Zengi yang bernama Nuruddin Mahmud ibn Zengi.
Periode Kepemimpinan Nuruddin Mahmud ibn Imaduddin Zengi
Nuruddin Mahmud ibn Imaduddin Zengi lahir paada tanggal 11 Februari 1118. Ia adalah anak kedua dari Imaduddin Zengi, setelah Saifuddin Ghazi. Pasca Zengi meninggal, kedua putranya saling berbagi wilayah pemerintahan. Nuruddin memerintah di Aleppo, sementara Ghazi memerintah di Mosul.
Kedua putra Zengi mewarisi keahlian ayah mereka dalam berperang. Akan tetapi terdapat satu keistimewaan dari Nuruddin, ia memiliki kecenderungan untuk menyatukan kaum muslimin, sehingga ia dapat menggalang kekuatan untuk melancarkan serangan ke wilayah-wilayah kekuasaan Tentara Salib.
Masa pemerintahan Nuruddin di Suriah diisi dengan beberapa usaha penyerangan ke Antiokhia, yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Tentara Salib. Nuruddin berhasil menguasai beberapa benteng di sebelah utara Syam dan kawasan pesisir Suriah. Selain itu, Nuruddin juga berhasil mengambil alih Eddesa, yang sebelumnya sempat diduduki kembali oleh Joscelin II dan para pengkhianat Armenia.
Meskipun Joscelin II, mendapatkan tambahan pasukan dari Antiokhia, Tripoli, dan Yerusalem, ia tidak mampu mempertahankan kota tersebut. Berkat taktik brilian Nuruddin, pasukan Salib dapat dikalahkan, tidak kurang dari setengah dari keseluruhan pasukan Joscelin tewas dalam pertempuran tersebut.
Nuruddin dikenal sebagai pemimpin yang selalu berusaha memanfaatkan potensi kekuatan Islam. Kekuatan tersebut tersebar di kawasan Syam dan Irak Utara. Ia juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai wilayah tersebut, dengan tujuan agar umat Islam dapat bersatu menghadapi kaum Frank.
Pada tahun 1147 M, Nuruddin melakukan perjanjian dengan penguasa Damaskus Mu’inuddin Unur. Sebelum itu, Mu’iniddin telah menjalin hubungan persahabatan dengan Tentara Salib. Namun, ia segera sadar akan bahaya yang dapat ditimbulkan pasukan salib, sehingga ia memutuskan untuk bekerjasama dengan Nuruddin.
Pecahnya Perang Salib Kedua
Bagi para pemeluk agama Kristen saat itu, kota Eddesa memiliki posisi spiritual yang penting, karena di kota tersebut terdapat banyak kapel dan gereja. Bahkan, pemeluk Kristen meyakini bahwa di gereja utama kota Eddesa tersimpan sapu tangan milik Yesus. Oleh sebab itu, orang-orang Eropa sangat khawatir pasca direbutnya kembali Eddesa oleh pasukan muslim, semua wilayah pendudukan Tentara Salib lainnya juga akan mengalami hal yang sama.
Tokoh utama penyeru Perang Salib Kedua adalah seorang pendeta Prancis bernama Saint Bernard Calixtus II. Pada saat itu, yang menjadi Paus di Roma adalah Paus Eugenius III. Calixtus mengadakan pertemuan di kota Vezelay dengan para pemimpin gereja pada tanggal 31 Maret 1146 M. Pertemuan yang membahas rencana Perang Salib kedua itu disambut langsung oleh Raja Prancis Louis VII dan Kaisar Jerman Conrad III.
Satu tahun pasca pertemuan tersebut, pasukan Salib di bawah komando Raja Louis VII dan Kaisar Conrad III, mulai bergerak menuju Asia Kecil. Conrad III dan pasukannya menuju Asia Kecil melalui jalur yang digunakan pada Perang Salib Pertama. Dalam perjalanannya ia dihadang oleh pasukan Seljuk di kota Konya. Conrad mengalami kekalahan pada pertempuran tersebut, sehingga memaksanya menarik mundur pasukannya kembali ke Nicea lalu ke Konstantinopel, untuk menggunakan jalur laut menuju Baitul Maqdis (tujuan awal mereka).
Sementara itu, Raja Louis VII menggunakan jalur pesisir Anatolia. Kemudian, dari Antiokhia bergerak menuju Baitul Maqdis untuk bergabung dengan pasukan Conrad III, sebelum mereka tiba di Baitul Maqdis. Di Baitul Maqdis diadakan pertemuan antara pemimpin Pasukan Salib, Raja Prancis Louis VIII, Raja Jerman Conrad III, raja Yerusalem Baldwin III, para penguasa kawasan Baitul Maqdis, dan sejumlah pemimpin gereja. Peserta pertemuan tersebut sepakat akan menyerang Mu’inuddin Unur, penguasa Damaskus yang sebelumnya pernah bersekutu dengan kaum Frank.
Pada Juni 1148, pasukan Salib telah mengepung kota Damaskus. Akan tetapi pengepungan pasukan Salib mendapatkan perlawanan sengit dari penduduk Damaskus yang dibantu oleh para sufi dan ahli fiqih. Akibat dari pengepungan itu, seorang imam mazhab Maliki bernama ‘Abd al-Rahmand Yusuf al-Fundalawi dan seorang sufi yang bernama ‘Abd al-Rahman al-Halhuli, meninggal sebagai syahid ketika mempertahankan kota.
Kondisi perang berbalik ketika pasukan pertahanan Damaskus memperoleh bantuan yang berasal Nuruddin dari Aleppo dan saudaranya Saifuddin dari Mosul. Kedatangan pasukan tersebut langsung merubah posisi kaum Frank dari posisi menyerang menjadi posisi membela diri. Kondisi ini semakin diperparah dengan konflik internal yang muncul terkait pembagian hak setiap kelompok jika Damaskus berhasil dikuasai.
Pemimpin Pasukan Salib mulai panik ketika mereka melihat barisan pasukan Nuruddin dan Saifuddin databg. Perpecahan internal pun semakin bertambah parah, Conrad III menuduh Raja Baldwin III, pemimpin keluarga Fulcher, dan Master of The Knight of The Hospital mengkhianati pasukan Salib, dengan memberikan nasehat buruk bagi strategi pengepungan mereka.
Pada akhir pertempuran tersebut, gabungan pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukan kaum Frank. Pasukan Salib yang tersisa melarikan diri menuju ke pantai. Louis VII dan Conrad III sebagai pemimpin tertinggi dari Perang Salib II juga memutuskan untuk mundur, sebelum akhirnya kembali ke Eropa.
Perang Salib Kedua dapat dikatakan tidak menghasilkan apapun bagi kaum Frank, selain kerugian besar yang mereka derita. Sementara bagi muslim kemenangan di Damaskus menjadi tanda kebangkitan persatuan Islam di bawah komando Nuruddin.
Mekipun telah menang dalam Perang Salib Kedua, perjalanan karier Nuruddin tidak berhenti begitu saja. Nuruddin melanjutkan penaklukannya dengan memperoleh kemenangan gemilang melawan kaum Frank, pimpinan Raymond de Pointiers di Benteng Inab pada tahun 1149 M. Raymond de Pointiers tewas dalam pertempuran tersebut.
Karier Nuruddin terus naik, setelah pada tahun 1154 Nuruddin berhasil mempersatukan Suriah. Seiring dengan berkuasanya pemimpin Tentara Salib, Amalric, pada tahun 1163 M, sekaligus dimulainya fase baru dalam karier Nuruddin.
Amalric memfokuskan perhatiannya ke Daulah Fatimiyah di Mesir, yang tengah sekarat dan melemah pasca terbunuhnya wazir Tala’i pada 1161 M, dan Nuruddin sebagai pemimpin pasukan muslim dituntut untuk lebih tegas dalam menghadapi kaum Frank. Sejak saat itu, Nuruddin mulai melakukan intervensi dalam masalah internal Mesir dengan mengirimkan panglimanya, Shirkuh dan keponakannya Salahuddin (Saladin).
Selama Mesir belum dikuasai, kaum Frank masih dapat mendatangkan bantuan melalui negeri itu. Oleh sebab itu, Mesir akan menjadi salah satu tempat penting dalam pembahasan Perang Salib selanjutnya.
Reaksi dari Barat
Berita jatuhnya Edessa dikabarkan oleh para peziarah pada awal tahun 1145, lalu kemudian oleh duta besar dari Antiokhia, Yerusalem dan Armenia. Uskup Hugh dari Jabala melaporkan berita ini kepada Paus Eugenius III, yang mengeluarkan bula kepausan quantum praedecessores pada tanggal 1 Desember 1145 yang memerintahkan dilaksanakannya Perang Salib Kedua. Hugh juga memberitahu Paus bahwa seorang raja Kristen timur diharapkan akan memberi pertolongan kepada negara-negara tentara salib.
Perang salib yang baru diharapkan akan lebih teratur daripada Perang Salib Pertama. Apalagi, tentara salib akan dipimpin oleh raja-raja terkuat dari Eropa. Sayangnya, paus hanya mendapat sedikit tanggapan. Louis VII dari Perancis telah memikirkan ekspedisi baru tanpa campur tangan Paus. Ia telah mengumumkan hal itu pada istanannya di Bourges tahun 1145. Saat ini masih diperdebatkan, apakah Louis merencanakan perang salibnya sendiri, atau ia hendak memenuhi janjinya kepada saudaranya, Phillip, bahwa ia akan pergi ke Tanah Suci. Mungkin Louis menghendaki pilihan bebasnya setelah mendengar tentang quantum praedecessores. Sayangnya, Kepala Biara Suger dan bangsawan lainnya tidak senang dengan rencana Louis, karena ia akan pergi dari kerajaan selama beberapa tahun. Louis berkonsultasi dengan Bernardus dari Clairvaux, yang menyuruhnya menemui Eugenius. Kini Louis pasti telah mendengar tentang bula kepausan, dan Eugenius dengan penuh semangat mendukung perang salib Louis. Bula kepausan dikeluarkan kembali pada tanggal 1 Maret 1146, dan Paus Eugenius memberikan kekuasaan kepada Bernardus untuk berkhotbah di Perancis.[5]
Bernardus dari Clairvaux
Paus memerintahkan Bernardus untuk mengkhotbahkan Perang Salib Kedua dan memberikan indulgensi sebagaimana yang diberikan oleh Paus Urbanus II untuk Perang Salib Pertama.[5] Parlemen dihimpunkan di Vézelay, Burgundia tahun 1146, dan Bernardus berkhotbah dihadapan dewan pada 31 Maret. Louis VII dari Perancis, istri Louis Aliénor dari Aquitania, pangeran dan pemimpin-pemimpin hadir dan bersujud dibawah kaki Bernardus untuk menerima salib peziarah. Conrad III dari Jerman dan keponakannya Frederick Barbarossa, menerima salib dari tangan Bernardus.[6] Paus Eugenius sendiri datang ke Perancis untuk menyemangati. Bernardus kemudian pergi ke Jerman.
Walaupun semangatnya meluap-luap, namun pada dasarnya Bernardus bukanlah seorang fanatik maupun penganiaya. Seperti pada Perang Salib Pertama, khotbahnya dengan tidak sengaja menyebabkan serangan terhadap orang Yahudi. Pendeta fanatik Perancis yang bernama Rudolf telah menyebabkan pembantaian Yahudi di Rhineland, Cologne, Mainz, Worms, dan Speyer. Rudolf menyatakan Yahudi tidak membantu secara finansial untuk menyelamatkan Tanah Suci. Bernardus menentang serangan tersebut dan berkelana dari Flandria ke Jerman untuk menyelesaikan masalah dan menenangkan massa. Bernardus lalu bertemu Rudolf di Mainz dan berhasil membuatnya diam, lalu mengembalikannya ke biara.[7]
Perang salib Wend
Ketika Perang Salib Kedua diserukan, banyak orang Jerman Selatan yang menjadi sukarelawan perang. Orang-orang Sachsen di Jerman Utara merasa enggan. Pada pertemuan Reichstag di Frankfurt tanggal 13 Maret 1147, mereka memberitahu Santo Bernardus bahwa mereka lebih ingin berperang melawan bangsa Slavia. Paus Eugenius menerima rencana Sachsen dan mengeluarkan bula kepausan divina dispensatione pada 13 April. Bula Kepausan ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan nilai spiritual yang didapat dalam masing-masing perang salib. Orang yang menjadi sukarelawan melawan bangsa Slavia adalah bangsa Denmark, Sachsen, dan Polandia,[8] dan juga terdapat bangsa Bohemia.[9] Wakil Paus, Anselm dari Havelberg, diberi wewenang untuk memegang kekuasaan secara keseluruhan. Kampanye militer itu sendiri dipimpin oleh keluarga-keluarga Sachsen seperti Ascania, Wettin, dan Schauenburg.[10]
Kecewa dengan parsitipasi Jerman dalam perang salib, Obotrit menyerang Wagria pada Juni 1147, sehingga tentara salib mulai bergerak pada akhir musim panas tahun 1147. Setelah mengusir Obotrit dari wilayah Kristen, tentara salib menyerang benteng Obotrit di Dobin dan benteng bangsa Liutizia di Demmin. Ketika beberapa tentara salib menganjurkan untuk menghancurkan wilayah di luar kota, beberapa lainnya menolak, dan bertanya, "apakah itu bukan tanah kita sehingga kita hendak menghancurkannya, dan apakah mereka bukan bangsa kita sehingga kita hendak bertempur melawan mereka?"[11] Pasukan Sachsen dibawah Henry si Singa mundur setelah kepala kaum pagan Niklotsetuju untuk membaptis garnisun Dobin. Setelah pengepungan Demmin gagal, kontingen tentara salib dialihkan untuk menyerang Pomerania. Mereka telah mencapai kota Kristen Stettin, lalu tentara salib dibubarkan setelah bertemu dengan Uskup Albert dari Pomerania dan Pangeran Ratibor I dari Pomerania.
Menurut Bernardus dari Clairvaux, tujuan perang salib ini adalah untuk melawan Slavia pagan "hingga pada saatnya nanti, dengan pertolongan Tuhan, entah mereka akan berpindah agama atau disingkirkan."[12] Sayangnya, tentara salib gagal mengganti agama orang-orang Wend. Orang-orang Sachsen mendapati kaum Slavia di Dobin berbondong-bondong kembali ke kepercayaan pagan mereka ketika tentara Kristen dibubarkan. Albert dari Pomerania menjelaskan, "jika mereka ingin agar Kekristenan mengakar kuat ... yang harus mereka lakukan adalah menyebarkannya melalui pengajaran, bukan menggunakan senjata."[13]
Pada akhir perang salib, Mecklenburg dan Pomerania mengalami penjarahan dan depopulasi akibat maraknya pertumpahan darah, terutama diakibatkan oleh keganasan tentara Henry si Singa.[14] Akibatnya, penduduk Slavia kehilangan banyak metode produksi, sehingga membatasi perlawanan mereka pada masa depan.[15]
Reconquista dan jatuhnya Lisboa
Pada musim semi tahun 1147, Paus mengatur perluasan cakupan perang salib ke semenanjung Iberia. Ia memerintahkan Alfonso VII dari León untuk menyamakan kampanyenya melawan Moor dengan Perang Salib Kedua.[6] Pada Mei 1147, kontingen tentara salib pertama meninggalkan Dartmouth di Inggris menuju Tanah Suci. Cuaca buruk memaksa kapal mereka berhenti di kota Porto pada 16 Juni 1147. Di sana mereka dibujuk untuk bertemu dengan Afonso I dari Portugal.[16]
Tentara salib setuju untuk membantu Afonso menyerang Lisboa. Pengepungan Lisboa berlangsung dari 1 Juli hingga 25 Oktober 1147. Pada 25 Oktober, penguasa Moor menyerah, terutama karena kelaparan. Kebanyakan tentara salib menetap di kota yang baru direbut, tetapi beberapa dari mereka berlayar dan meneruskan perjalanan ke Tanah Suci.[16] Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu merebut Santarém pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra, Almada, Palmela dan Setúbal, dan dipersilakan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan. Selanjutnya mereka mulai menghasilkan keturunan.
Di tempat lain di semenanjung Iberia pada waktu yang hampir sama, Alfonso VII of León, Ramon Berenguer IV, dan lainnya, memimpin tentara salib Catalunya dan Perancis melawan kota pelabuhan Almería yang kaya. Dengan dukungan dari angkatan laut Genova-Pisa, kota ini berhasil diduduki pada Oktober 1147.[17] Ramon Berenger lalu menyerang wilayah Taifa Murabitun di Valencia dan Murcia. Pada Desember 1148, ia merebut Tortosa setelah pengepungan selama lima bulan dengan bantuan tentara salib Perancis dan Genova.[17] Satu tahun kemudian, Fraga, Lleida dan Mequinenza jatuh ke tangan pasukannya.[18]
Perang Salib di Timur
Joscelin mencoba merebut kembali Edessa setelah pembunuhan Zengi, tetapi Nuruddin menaklukannya pada November 1146. Pada 16 Februari 1147, tentara salib Perancis bertemu di Étampes untuk mendiskusikan rute mereka. Jerman memilih untuk melewati Hongaria karena Roger II, Raja Sisilia, adalah musuh Conrad dan rute laut secara politis tidak praktis. Banyak bangsawan Perancis tidak mempercayai jalur yang akan membawa mereka melalui Kekaisaran Romawi Timur tersebut, yang memiliki sejarah buruk pada masa Perang Salib Pertama. Meskipun demikian, akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti Conrad, dan direncanakan berangkat pada 15 Juni. Roger II merasa tersinggung dan menolak berpartisipasi lebih lanjut. Di Perancis, Kepala Biara Suger dan William II dari Nevers terpilih sebagai wali raja sementara raja pergi mengikuti perang salib. Di Jerman, pengkhotbahan lebih lanjut dikumandangkan oleh Adam dari Ebrach dan Otto dari Freising. Pada 13 Maret di Frankfurt, putra Conrad, Frederick, terpilih sebagai raja dibawah perwakilan Henry, Uskup kepala Mainz. Jerman berencana pergi ke Tanah Suci pada hari Paskah, tetapi mereka tidak berangkat sampai bulan Mei.[19]
Rute Jerman
Tentara salib Jerman, tediri dari Franconia, Bayern, dan Swabia, meninggalkan tanah air mereka pada Mei 1147. Ottokar III dari Styria bergabung dengan Conrad di Wina, dan musuh Conrad, Geza II dari Hongaria, akhirnya membiarkan mereka lewat. Ketika 20.000 pasukan Jerman tiba di wilayah Bizantium, Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Romawi Timur ditugaskan untuk memastikan agar tidak terjadi masalah apapun. Pertempuran-pertempuran kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut meletus di dekat Philippopolis dan di Adrianopel, tempat jendral Bizantium, Prosouch, bertempur dengan keponakan Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick. Lebih buruk lagi, beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di Konstantinopel. Hubungan dengan Manuel kurang baik dan orang Jerman diminta untuk menyeberang ke Asia Kecil secepat mungkin. Manuel ingin Conrad meninggalkan beberapa pasukannya di belakang untuk membantunya bertahan melawan serangan Roger II, yang telah mengambil kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani, tetapi Conrad menolak, walaupun ia adalah musuh dari Roger.[20]
Di Asia Kecil, Conrad memilih untuk tidak menunggu pasukan Perancis, dan maju menyerang Iconium, ibukota Kesultanan Rum. Conrad memisahkan pasukannya menjadi 2 divisi. Conrad memimpin salah satu 1 divisi, yang hampir dihancurkan oleh Seljuk pada 25 Oktober 1147 dalam Pertempuran Dorylaeum Kedua.[21]
Turki Seljuk menggunakan taktiknya. Mereka berpura-pura mundur, lalu menyerang kavaleri kecil Jerman yang terpisah dari pasukan utama karena mengejar mereka. Conrad mulai mundur pelan-pelan ke Konstantinopel, dan pasukannya diganggu setiap hari oleh Turki Seljuk, yang menyerang dan menaklukan penjaga depan. Bahkan Conrad terluka saat bertempur dengan mereka. Divisi yang lain, dipimpin oleh Otto dari Freising, maju ke selatan pantai Mediterania dan dapat ditaklukan pada awal tahun 1148.[22]
Rute Perancis
Tentara salib Perancis berangkat dari Metz pada bulan Juni 1147, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy dan saudaranya William V dari Montferrat, William VII dari Auvergne, dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine, Bretagne, Burgundi, dan Aquitaine. Pasukan dari Provence, dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai bulan Agustus. Di Worms, Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hongaria sat Geza menemukan Louis telah mempersilakan orang Hongaria untuk bergabung dengan pasukannya.[23]
Sejak negosiasi awal di antara Louis dan Manuel, Manuel telah menghentikan kampanye militer melawan Kesultanan Rüm dan menandatangani gencatan senjata dengan Mas'ud. Hal ini dilakukan sehingga Manuel dapat memusatkan perhatiannya pada pertahanan kekaisarannya dari tentara salib, yang memiliki reputasi buruk akibat pencurian dan pengkhianatan sejak Perang Salib Pertama. Mereka dituduh melakukan hal yang jahat di Konstantinopel. Hubungan Manuel dengan pasukan Perancis lebih baik daripada dengan orang Jerman. Beberapa orang Perancis marah karena gencatan senjata Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel, tetapi mereka dapat dikendalikan oleh Louis.[24]
Ketika pasukan dari Savoy, Auvergne, dan Montferrat bergabung dengan Louis di Konstantinopel dengan melewati Italia dan menyeberang dari Brindisi menuju Durres, seluruh pasukan mereka menyeberangi Bosporus menuju Asia Kecil melalui kapal. Mereka disemangati oleh rumor bahwa Jerman telah merebut Iconium, tetapi Manuel menolak memberi Louis bantuan tentara Bizantium. Bizantium baru saja diserang oleh Roger II dari Sisilia, dan seluruh pasukan Manuel dibutuhkan di Balkan. Baik Jerman dan Perancis memasuki Asia tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti pada Perang Salib Pertama. Dalam tradisi yang dibuat oleh kakek dari Manuel, Alexios I, Manuel menyuruh orang Perancis untuk menyerahkan wilayah manapun yang direbutnya kepada Romawi Timur.[25]
Pasukan Perancis bertemu sisa pasukan Conrad di Nicea, dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto dari Freising, dan tiba di Efesus pada bulan Desember. Di situ, mereka menyadari bahwa Turki Seljuk mempersiapkan serangan terhadap mereka. Sementara itu, Manuel mengirim utusan yang menyatakan keluhan mengenai penjarahan dan perampasan yang dilakukan oleh Louis, dan tidak ada jaminan bahwa Bizantium akan membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel. Louis tidak mendengarkan peringatan mengenai serangan Seljuk dan lalu bergerak keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tetapi dalam pertempuran kecil di luar Efesus, pasukan Perancis berhasil memenangkan pertempuran.[26]
Mereka mencapai Laodicea pada Januari 1148, hampir pada waktu yang sama ketika Otto dari Freising dihancurkan di tempat yang sama.[27] Perjalanan pun tetap dilanjutkan. Barisan depan dibawah pimpinan Amadeus dari Savoy terpisah dari pasukan di Gunung Cadmus, sementara pasukan Louis mengalami kekalahan. Pasukan Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih lanjut dan pasukan Perancis bergerak menuju Adalia. Adalia telah dihancurkan oleh Seljuk, dan juga dibakar agar pasukan Perancis tidak mendapat makanan. Louis tidak lagi ingin melalui jalur darat, dan memilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan berlayar ke Antiokhia.[21] Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk diri mereka sendiri, sementara sisa pasukan harus melanjutkan perjalanan yang jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hancur, baik karena serangan Turki maupun karena sakit.[28]
Louis tiba di Antiokhia pada tanggal 19 Maret, setelah terlambat akibat badai. Amadeus dari Savoy meninggal di Siprus selama perjalanan. Louis disambut oleh paman Aliénor, Raymond. Raymond mengharapkan ia membantunya bertahan melawan Seljuk dan menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tetapi Louis menolak. Ia lebih memilih untuk menyelesaikan peziarahannya di Yerusalem daripada memusatkan perhatian pada aspek militer perang salib.[29] Raymond ingin agar Aliénor, istri Louis, tetap berada di belakang dan menceraikan Louis jika ia menolak membantunya. Louis segera meninggalkan Antiokhia menuju County Tripoli, meninggalkan Aliénor. Sementara itu, Otto dari Freising dan sisa pasukannya tiba di Jerusalam pada awal bulan April, setelah itu Conrad segera sampai.[30] Fulk, Patriark Yerusalem, dikirim untuk mengundang Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisboa tiba, dan juga Provencal dibawah komando Aphonse dari Tolosa. Alphonse sendiri tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem karena diracuni oleh Raymond II dari Tripoli, keponakannya yang takut akan aspirasi politiknya di Tripoli. Target utama tentara salib adalah Edessa, tetapi target yang lebih diutamakan oleh Raja Baldwin III dan Ordo Bait Allah adalah Damaskus.[29]
Konsili Akko
Bangsawan Yerusalem menyambut datangnya pasukan dari Eropa, dan diumumkan bahwa konsili harus dihimpunkan untuk menentukan target terbaik tentara salib. Pertemuan berlangsung pada tanggal 24 Juni 1148. Dewan Haute Cour bertemu dengan tentara salib dari Eropa di Palmarea, dekat kota Akko (kota utama di Kerajaan Yerusalem). Baik Louis maupun Conrad dibujuk untuk menyerang Damaskus.[31]
Beberapa bangsawan (baron) Yerusalem menyatakan bahwa menyerang Damaskus adalah tindakan yang tidak bijaksana, karena Dinasti Burid di Damaskus, meskipun Muslim, adalah sekutu mereka melawan dinasti Zengid. Conrad, Louis, dan Baldwin bersikeras bahwa Damaskus adalah kota suci untuk Kekristenan. Seperti Yerusalem dan Antiokhia, Damaskus akan menjadi hadiah yang patut diperhitungkan di mata Kristen Eropa. Pada bulan Juli, pasukan mereka dikumpulkan di Tiberias dan bergerak menuju Damaskus. Mereka berjumlah 50.000 tentara.[32]
Pengepungan Damaskus
|
Tentara salib memilih untuk menyerang Damaskus dari barat, tempat berdirinya kebun buah yang akan memberi mereka makanan.[31] Mereka tiba pada tanggal 23 Juli. Pasukan Muslim sudah siap untuk serangan tersebut dan langsung menyerang pasukan yang bergerak melalui perkebunan di luar Damaskus. Damaskus meminta bantuan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppodan Nuruddin Zengi dari Mosul. Damaskus lalu menyerang perkemahan tentara salib. Tentara salib dapat dipukul mundur dari tembok ke perkebunan. Di sana mereka rentan terhadap serangan gerilya.[29]
Menurut William dari Tirus, pada 27 Juli, tentara salib memilih untuk bergerak ke bagian timur, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi lebih kurang lagi persediaan makanan dan airnya.[31] Nuruddin dan Saifuddin telah tiba. Dengan hadirnya Nuruddin di lapangan, sangatlah tidak mungkin bagi tentara salib untuk kembali ke posisi mereka yang lebih baik.[29] Pemimpin tentara salib lokal menolak untuk meneruskan pengepungan, dan ketiga raja tidak memiliki pilihan selain meninggalkan kota.[31] Conrad, lalu sisa pasukan, memilih untuk mundur kembali ke Yerusalem pada 28 Juli. Ketika mundur, mereka diikuti oleh pemanah Turki yang terus menerus menyerang mereka.[33]
Akibat
Setiap pihak Kristen merasa saling dikhianati satu sama lain.[31] Rencana baru dibuat untuk menyerang Ascalon, dan Conrad membawa pasukannya kesana, tetapi tidak ada bantuan tiba, karena kurangnya kepercayaan akibat kegagalan pengepungan Damaskus. Ketidakpercayaan ini terus berkepanjangan, sehingga menghancurkan kerajaan Kristen di Tanah Suci. Setelah ekspedisi Ascalon dihentikan, Conrad kembali ke Konstantinopel untuk memperkuat aliansi dengan Manuel. Louis tetap berada di Yerusalem sampai tahun 1149.
Bernardus dari Clairvaux juga dipermalukan oleh kekalahan ini. Bernardus meminta maaf kepada Paus. Dalam bagian kedua bukunya, Book of Considerations, Bernardus menjelaskan bagaimana dosa-dosa yang dilakukan para tentara salib adalah penyebab kemalangan dan kegagalan mereka. Ketika usahanya untuk menyerukan perang salib baru gagal, ia mencoba memisahkan dirinya dari kegagalan Perang Salib Kedua.[34] Bernardus meninggal dunia pada tahun 1153.
Perang Salib Wend membuahkan hasil yang manis dan pahit. Walaupun Sachsen berhasil menyatakan Wagria dan Polabia sebagai jajahan mereka, kelompok pagan tetap menguasai wilayah Obodrit di sebelah timur Lübeck. Sachsen menerima upeti dari Niklot, memungkinkan kolonisasi Keuskupan Havelberg, dan pembebasan beberapa tahanan Denmark, namun pemimpin-pemimpin Kristen saling mencurigai dan menuduh satu sama lain atas tuduhan mensabotase kampanye militer. Di Iberia, kampanye militer di Spanyol, dan juga pengepungan Lisboa, merupakan satu-satunya kemenangan Kristen dalam Perang Salib Kedua. Kampanye tersebut dianggap sebagai pertempuran penting dalam Reconquista, yang akan selesai pada tahun 1492.[18]
Serangan terhadap Damaskus membawa malapetaka kepada Yerusalem: Damaskus tidak lagi percaya kepada negara-negara tentara salib, dan kota itu diberikan kepada Nuruddintahun 1154. Baldwin III menguasai Ascalon pada tahun 1153, yang menyeret Mesir kedalam konflik ini. Yerusalem mampu memasuki Mesir dan merebut Kairo pada tahun 1160.[35]Akan tetapi, bantuan dari Eropa jarang datang setelah bencana yang diakibatkan oleh Perang Salib Kedua. Raja Amalric I dari Yerusalem bersekutu dengan Romawi Timur dan melancarkan invasi gabungan ke Mesir tahun 1169, tetapi serangan ini gagal. Pada tahun 1171, Salahuddin Ayyubi, keponakan dari salah satu jenderal Nuruddin, menjadi Sultan Mesir. Ia mempersatukan Mesir dan Suriah, lalu mengepung kerajaan tentara salib. Sementara itu, aliansi dengan Bizantium berakhir setelah kematian Kaisar Manuel I pada tahun 1180, dan pada tahun 1187, Yerusalem diserang dan direbut oleh Salahuddin. Pasukannya lalu menyebar ke utara dan merebut semua ibukota negara-negara tentara salib, memicu meletusnya Perang Salib Ketiga.[36]
0 Komentar